“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)” (QS al-Takâtsur [102]: 1-3)
Rasûlullâh SAW merasa
takut kepada umatnya bukan karena kekurangan makanan, harta dan lain sebagainya,
melainkan yang Rasûlullâh SAW takutkan adalah tatkala umatnya terlalu
mengagung-agungkan dunia daripada menyembah Rabbnya. Kelak umatnya akan senang
terhadap dunia dengan berlebih-lebihan bahkan karena urusan dunianya ia lupa
akan urusan akhiratnya itu.
Banyak dijumpai
disekeliling kita orang-orang yang demikian. Padahal Allâh SWT sudah
mengingatkan di dalam firmannya, “Bermegah-megahan
telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu,
kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)” (QS al-Takâtsur [102]:
1-3)
Dalam surat
al-Takâtsur, Allâh SWT telah mengingatkan manusia bahwa mengejar urusan dunia
(bermegah-megahan) hanya akan melalaikan manusia. Akibat sibuk dengan urusan
dunia, pelakunya menjadi lupa akan hidupnya, ternyata hidup yang dijalaninya
hanyalah sementara. Matanya tertutup oleh urusan dunia, hatinya menjadi keras
dan tertutup karena mengurus dunianya.
Kisah Tsa’labah Ibnu
Hatib
Allâh SWT menciptakan
manusia sebagai makhluk yang pelupa (diri) dan berkeluh kesah. Allâh SWT
berfirman: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat
kebaikan ia Amat kikir.” (QS al-Mârij [70]: 19-21).
Ada seseorang sahabat
yang bernama Tsa’labah ibnu Hatib. Ia cukup rajin beribadah, ikut shalat
berjamaah di masjid bersama nabi, dan juga tak pernah ketinggalan shalat
Jum’at. Ia termasuk orang yang miskin. Oleh karena itu, pada suatu saat ia
meminta Rasûlullâh SAW untuk mendoakannya agar bisa menjadi orang yang kaya.
Rasûlullâh SAW
sebenarnya enggan untuk mendoakannya agar menjadi kaya. Karena ia tahu apa yang bakal terjadi padanya
jika ia mendoakannya. Namun karena terus didesak, akhirnya beliau mendoakannya,
lalu doanya terkabul. Akhrinya Tsa’labah mendapat rejeki untuk memelihara
kambing-kambing. Lambat laun, tak terasa kambing-kambingnya berkembang biak dan
menjadi banyak, sampai-sampai ia kesulitan menghitungnya.
Setiap hari Tsa‘labah
sibuk mengurus hewan ternaknya, ia tidak dapat lagi menghadiri salat berjamaah
bersama Rasûlullâh SAW. Usaha peternakannya terus berkembang, dan memindahkan
usahanya ke tempat yang lebih luas. Kini ia tidak dapat salat berjamaah bersama
Rasûlullâh SAW. Tetapi Tsa‘labah masih bisa shalat Jum‘at di tempat lain.
Ketika perkembangan
ternaknya maju dengan pesat, ia tidak dapat lagi menghadiri shalat Jum’at
atapun ikut salat jenazah dan mengantar jenazah ke pemakaman. Rasûlullâh SAW merasa kehilangan Tsa‘labah dan sering
bertanya dimanakah dia, dan dikabarkan kepada Rasûlullâh SAW bahwa Tsa‘labah sudah menjadi seorang
saudagar kaya.
Kemudian ketika turun
perintah zakat, Rasul mengutus dua orang sahabatnya untuk mengumpulkan zakat
dari keluarga Sulaimi dan Tsa‘labah. Kedua orang sahabat tersebut menemui
Tsa‘labah dan dengan penuh curiga Tsa‘labah memeriksa surat tugas yang
diberikan Nabi SAW dan berkomentar, “Demi Allâh ini adalah jizyah (pungutan
pajak untuk orang kafir), pergilah ke tempat lain dahulu, baru nanti kembali ke
sini.
Kemudian utusan tadi
menemui keluarga Sulaimi, mereka disambut dengan baik. Sulaimi menyerahkan
hewan ternak yang bagus-bagus. Ketika disebutkan bahwa kewajiban zakat
sebenarnya tidak banyak dan apa yang diberikan terlalu banyak, Sulaimi berkata,
“Aku ingin mendekatkan diriku kepada Allâh SWT dengan hartaku yang paling baik dan paling
bernilai”.
Setelah itu mereka
kembali menemui Tsa‘labah, dan Tsa‘labah kembali mengatakan surat tugas yang
diberikan Rasul adalah bukan untuk mengambil zakat, tapi pungutan pajak bagi
orang kafir. Kembalilah kedua utusan ke Kota Madinah dan Rasûlullâh SAW mengatakan celakalah Tsa‘labah dan semoga
Allâh SWT memberkati Sulaimi. Dan nabi
pun berkata: Sejak awal saat hendak mendoakannya agar menjadi orang kaya,
aku sudah mengkhawatirkan hal ini.
Dunia itu Fana
Banyak yang gila
bekerja, gila harta, gila jabatan dan lain sebagainya, tetapi itu semua adalah
urusan dunia. Banyak yang telah tertipu dengan dunia ini, padahal hanya
sementara kita tinggal di dunia ini, seperti yang di ibaratkan oleh para
mubaligh bahwa dunia ini laksana pelabuhan sebagai tempat persinggahan. Kelak
kapal ini akan berlayar lagi menuju pelabuhan yang bernama akhirat.
Islam sendiri memang
menganjurkan kepada umatnya untuk berusaha, mencari rizki, berdagang, dan lain
sebagainya. Akan tetapi, dengan sewajarnya saja, jangan lantas sampai melupakan
urusan akhirat, sebab akhirta itu merupakan tujuan akhir dari semua yang kita
lakukan ketika di dunia yang fana ini. Allâh SWT berfirman: Hai orang-orang
beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, Maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS al-Jumu’ah [62]: 9-10)
Perintah Islam tidak
hanya terpaku pada amalan akhirat semata, melainkan amalan dunia perlu. Untuk
itu Islam menganjurkan agar keduanya bisa tetap ada sinkronisasi, tujuannya
supaya antara keduanya bisa dicapai dengan baik. “Beramalah untuk akhirat mu
seakan esok kau tiada, dan beramalah untuk dunia mu seakan engkau hidup
selamanya..” konotasinya adalah kita dianjurkan untuk mempersiapkan bekal untuk
kehidupan yang kedua (akhirat), dan ketika bekerja kita harus sungguh-sungguh
dan tekun dalam melaksanakanya, sebagai bekal untuk hidup di dunia, menfkahi
keluarga, anak dan istri.
Jika kita telaah
seksama, Allâh SWT memiliki rencana yang tak terduga. Allâh SWT menganjurkan kita hambanya untuk bekerja,
tetapi setelah cukup apa yang telah didapatkan, maka hasil dari bekerja itu
kita juga diperintahkan untuk membagikan sebagian dari pendapatan tersebut.
Jelas, bahwa dari pendapatan tersebut ada hak orang lain yang harus diberikan
kepada siapa yang berhak menerimanya.
Banyak yang merasakan
bahwa hartanya tidak berkah, cepat habis bahkan secepat itu mendapatkannya maka
secepat itulah pula lenyapnya. Barangkali hal yang demikian disebabkan ada hak
orang lain yang kita makan sendiri dan tidak diberikan kepada siapa yang
berhak. Inilah rencana allah, semakin banyak yang diberikan maka semakin banyak
yang akan kita terima.
Dunia itu semakin
dikejar maka akan semakin menjauh, mengutip pesan Kuswaidi Syafi’i dalam
pengajiannya beliau mengatakan seperti ini, “Jangan kau pandangi dunia itu,
karena semakin kau pandang maka dunia itu akan bertambah manis” pesan yang
ingin disampaikan oleh beliau adalah biarlah dunia itu menjadi indah bagi siapa
yang mengejarnya, tetapi bagi kita
mengejar keindahan tuhan itu sudah lebih dari pada cukup.
Dunia bisa berbentuk
macam-macam, bentuk fisik bahkan non fisik. Contoh non fisik adalah ajakan dari
teman atau salah satu rekan yang begitu menggiurkan. Apapun itu sama saja
bentuknya, semakin menumpuk-numpuk dunia maka semakin keras pula hati kita
dibuatnya. Dalam alquran digambarkan begitu sangat jelas, misalnya saja “Jâhidû
bi amwâlikum wa anfusikum…” kenapa kita diperintahkan untuk berjihad dengan
harta terlebih dulu? Karena orang yang sudah gila harta tentu merasa berat
ketika harus mengorbankan hartanya dibandingkan dengan nyawanya sendiri.
Apapun yang dimiliki
saat ini hanyalah titipan semata, pemilik yang hakiki adalah Allâh SWT. Semua
yang dimiliki saat ini hanyalah perantara bukan hak seutuhnya, toh Allâh SWT
akan mengambilnya kembali. Kuswaidi Syafi’i mengatakan, “Beragama itu harus
sampai ke asal-usulnya, jika sudah demikian maka apapun tidak akan menjadi
permasalahan..” karena Allâh SWT merupakan asal-usul dari semuanya. Jika
agama kita sampai kepada sala-usulnya tentntu urusan dunia bukanlah yang utama
yang dicari.
Bersikaplah Qana’ah
Untuk menghilangkan
kecintaan dunia secara berlebihana adalah dengan sikap qana’ah, karena dengan
qana’ah inilah justru dapat melindungi diri manusia dari rasa “haus”
berkepanjangan. Rasa “haus” ini begitu mengebu-gebu sehingga menjelma dan
menjadikan dirinya buta, gila dan lain sebagainya. Hidupnya dirundung dalam
ketidakpuasan, ketidakcukupan dan merasa kurang dengan apa yang sudah
dimilikinya saat ini. Padahal manuisa itu adalah makhluk yang amat rakus,
jika ia sudah memiliki satu ladang emas,
maka itu tak cukup, ia menginginkan ladang emasnya terus bertambah menjadi dua,
tiga, empat dan seterusnya.
Qana’ah ialah menerima
dengan cukup. qana’ah itu mengandung lima perkara; menerima dengan rela akan
apa yang ada, memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha,
menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan, bertawakal kepada Tuhan, tidak
tertarik oleh tipu daya dunia. Itulah yang dinamai qana’ah, dan itulah kekayaan
yang sebenarnya. Rasûlullâh SAW bersabda: “Kekayaan itu bukanlah lantaran
banyak harta bendanya, akan tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan
jiwa.” (HR al-Bukhari). Semoga kita termasuk orang-orang yang qana’ah dan
pandai bersyukur atas apa yang Allâh SWT
berikan. Âmîn, Wallâhu’alam.[]
Amir Hamzah
Ngaji di Ponpes UII
http://alrasikh.uii.ac.id/2013/02/28/1308/
0 komentar:
Posting Komentar