Jumat, 01 Maret 2013

Buta Dunia Karena Harta

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)” (QS al-Takâtsur [102]: 1-3)

Rasûlullâh SAW merasa takut kepada umatnya bukan karena kekurangan makanan, harta dan lain sebagainya, melainkan yang Rasûlullâh SAW takutkan adalah tatkala umatnya terlalu mengagung-agungkan dunia daripada menyembah Rabbnya. Kelak umatnya akan senang terhadap dunia dengan berlebih-lebihan bahkan karena urusan dunianya ia lupa akan urusan akhiratnya itu.

Banyak dijumpai disekeliling kita orang-orang yang demikian. Padahal Allâh SWT sudah mengingatkan di dalam firmannya,  “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)” (QS al-Takâtsur [102]: 1-3)

Dalam surat al-Takâtsur, Allâh SWT telah mengingatkan manusia bahwa mengejar urusan dunia (bermegah-megahan) hanya akan melalaikan manusia. Akibat sibuk dengan urusan dunia, pelakunya menjadi lupa akan hidupnya, ternyata hidup yang dijalaninya hanyalah sementara. Matanya tertutup oleh urusan dunia, hatinya menjadi keras dan tertutup karena mengurus dunianya.

Kisah Tsa’labah Ibnu Hatib
Allâh SWT menciptakan manusia sebagai makhluk yang pelupa (diri) dan berkeluh kesah. Allâh SWT berfirman: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia Amat kikir.” (QS al-Mârij [70]: 19-21).

Ada seseorang sahabat yang bernama Tsa’labah ibnu Hatib. Ia cukup rajin beribadah, ikut shalat berjamaah di masjid bersama nabi, dan juga tak pernah ketinggalan shalat Jum’at. Ia termasuk orang yang miskin. Oleh karena itu, pada suatu saat ia meminta Rasûlullâh SAW untuk mendoakannya agar bisa menjadi orang yang kaya.

Rasûlullâh SAW sebenarnya enggan untuk mendoakannya agar menjadi kaya.  Karena ia tahu apa yang bakal terjadi padanya jika ia mendoakannya. Namun karena terus didesak, akhirnya beliau mendoakannya, lalu doanya terkabul. Akhrinya Tsa’labah mendapat rejeki untuk memelihara kambing-kambing. Lambat laun, tak terasa kambing-kambingnya berkembang biak dan menjadi banyak, sampai-sampai ia kesulitan menghitungnya.

Setiap hari Tsa‘labah sibuk mengurus hewan ternaknya, ia tidak dapat lagi menghadiri salat berjamaah bersama Rasûlullâh SAW. Usaha peternakannya terus berkembang, dan memindahkan usahanya ke tempat yang lebih luas. Kini ia tidak dapat salat berjamaah bersama Rasûlullâh SAW. Tetapi Tsa‘labah masih bisa shalat Jum‘at di tempat lain.

Ketika perkembangan ternaknya maju dengan pesat, ia tidak dapat lagi menghadiri shalat Jum’at atapun ikut salat jenazah dan mengantar jenazah ke pemakaman. Rasûlullâh SAW  merasa kehilangan Tsa‘labah dan sering bertanya dimanakah dia, dan dikabarkan kepada Rasûlullâh SAW  bahwa Tsa‘labah sudah menjadi seorang saudagar kaya.

Kemudian ketika turun perintah zakat, Rasul mengutus dua orang sahabatnya untuk mengumpulkan zakat dari keluarga Sulaimi dan Tsa‘labah. Kedua orang sahabat tersebut menemui Tsa‘labah dan dengan penuh curiga Tsa‘labah memeriksa surat tugas yang diberikan Nabi SAW dan berkomentar, “Demi Allâh ini adalah jizyah (pungutan pajak untuk orang kafir), pergilah ke tempat lain dahulu, baru nanti kembali ke sini.

Kemudian utusan tadi menemui keluarga Sulaimi, mereka disambut dengan baik. Sulaimi menyerahkan hewan ternak yang bagus-bagus. Ketika disebutkan bahwa kewajiban zakat sebenarnya tidak banyak dan apa yang diberikan terlalu banyak, Sulaimi berkata, “Aku ingin mendekatkan diriku kepada Allâh SWT  dengan hartaku yang paling baik dan paling bernilai”.
Setelah itu mereka kembali menemui Tsa‘labah, dan Tsa‘labah kembali mengatakan surat tugas yang diberikan Rasul adalah bukan untuk mengambil zakat, tapi pungutan pajak bagi orang kafir. Kembalilah kedua utusan ke Kota Madinah dan Rasûlullâh SAW  mengatakan celakalah Tsa‘labah dan semoga Allâh SWT  memberkati Sulaimi. Dan nabi pun berkata: Sejak awal saat hendak mendoakannya agar menjadi orang kaya, aku sudah mengkhawatirkan hal ini.

Dunia itu Fana
Banyak yang gila bekerja, gila harta, gila jabatan dan lain sebagainya, tetapi itu semua adalah urusan dunia. Banyak yang telah tertipu dengan dunia ini, padahal hanya sementara kita tinggal di dunia ini, seperti yang di ibaratkan oleh para mubaligh bahwa dunia ini laksana pelabuhan sebagai tempat persinggahan. Kelak kapal ini akan berlayar lagi menuju pelabuhan yang bernama akhirat.

Islam sendiri memang menganjurkan kepada umatnya untuk berusaha, mencari rizki, berdagang, dan lain sebagainya. Akan tetapi, dengan sewajarnya saja, jangan lantas sampai melupakan urusan akhirat, sebab akhirta itu merupakan tujuan akhir dari semua yang kita lakukan ketika di dunia yang fana ini. Allâh SWT berfirman: Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS al-Jumu’ah [62]: 9-10)

Perintah Islam tidak hanya terpaku pada amalan akhirat semata, melainkan amalan dunia perlu. Untuk itu Islam menganjurkan agar keduanya bisa tetap ada sinkronisasi, tujuannya supaya antara keduanya bisa dicapai dengan baik. “Beramalah untuk akhirat mu seakan esok kau tiada, dan beramalah untuk dunia mu seakan engkau hidup selamanya..” konotasinya adalah kita dianjurkan untuk mempersiapkan bekal untuk kehidupan yang kedua (akhirat), dan ketika bekerja kita harus sungguh-sungguh dan tekun dalam melaksanakanya, sebagai bekal untuk hidup di dunia, menfkahi keluarga, anak dan istri.

Jika kita telaah seksama, Allâh SWT memiliki rencana yang tak terduga. Allâh SWT  menganjurkan kita hambanya untuk bekerja, tetapi setelah cukup apa yang telah didapatkan, maka hasil dari bekerja itu kita juga diperintahkan untuk membagikan sebagian dari pendapatan tersebut. Jelas, bahwa dari pendapatan tersebut ada hak orang lain yang harus diberikan kepada siapa yang berhak menerimanya.

Banyak yang merasakan bahwa hartanya tidak berkah, cepat habis bahkan secepat itu mendapatkannya maka secepat itulah pula lenyapnya. Barangkali hal yang demikian disebabkan ada hak orang lain yang kita makan sendiri dan tidak diberikan kepada siapa yang berhak. Inilah rencana allah, semakin banyak yang diberikan maka semakin banyak yang akan kita terima.

Dunia itu semakin dikejar maka akan semakin menjauh, mengutip pesan Kuswaidi Syafi’i dalam pengajiannya beliau mengatakan seperti ini, “Jangan kau pandangi dunia itu, karena semakin kau pandang maka dunia itu akan bertambah manis” pesan yang ingin disampaikan oleh beliau adalah biarlah dunia itu menjadi indah bagi siapa yang mengejarnya, tetapi bagi kita  mengejar keindahan tuhan itu sudah lebih dari pada cukup.

Dunia bisa berbentuk macam-macam, bentuk fisik bahkan non fisik. Contoh non fisik adalah ajakan dari teman atau salah satu rekan yang begitu menggiurkan. Apapun itu sama saja bentuknya, semakin menumpuk-numpuk dunia maka semakin keras pula hati kita dibuatnya. Dalam alquran digambarkan begitu sangat jelas, misalnya saja “Jâhidû bi amwâlikum wa anfusikum…” kenapa kita diperintahkan untuk berjihad dengan harta terlebih dulu? Karena orang yang sudah gila harta tentu merasa berat ketika harus mengorbankan hartanya dibandingkan dengan nyawanya sendiri.

Apapun yang dimiliki saat ini hanyalah titipan semata, pemilik yang hakiki adalah Allâh SWT. Semua yang dimiliki saat ini hanyalah perantara bukan hak seutuhnya, toh Allâh SWT akan mengambilnya kembali. Kuswaidi Syafi’i mengatakan, “Beragama itu harus sampai ke asal-usulnya, jika sudah demikian maka apapun tidak akan menjadi permasalahan..” karena Allâh SWT merupakan asal-usul dari semuanya. Jika agama kita sampai kepada sala-usulnya tentntu urusan dunia bukanlah yang utama yang dicari.

Bersikaplah Qana’ah
Untuk menghilangkan kecintaan dunia secara berlebihana adalah dengan sikap qana’ah, karena dengan qana’ah inilah justru dapat melindungi diri manusia dari rasa “haus” berkepanjangan. Rasa “haus” ini begitu mengebu-gebu sehingga menjelma dan menjadikan dirinya buta, gila dan lain sebagainya. Hidupnya dirundung dalam ketidakpuasan, ketidakcukupan dan merasa kurang dengan apa yang sudah dimilikinya saat ini. Padahal manuisa itu adalah makhluk yang amat rakus, jika  ia sudah memiliki satu ladang emas, maka itu tak cukup, ia menginginkan ladang emasnya terus bertambah menjadi dua, tiga, empat dan seterusnya.

Qana’ah ialah menerima dengan cukup. qana’ah itu mengandung lima perkara; menerima dengan rela akan apa yang ada, memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha, menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan, bertawakal kepada Tuhan, tidak tertarik oleh tipu daya dunia. Itulah yang dinamai qana’ah, dan itulah kekayaan yang sebenarnya. Rasûlullâh SAW bersabda: “Kekayaan itu bukanlah lantaran banyak harta bendanya, akan tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa.” (HR al-Bukhari). Semoga kita termasuk orang-orang yang qana’ah dan pandai bersyukur atas apa yang Allâh SWT  berikan. Âmîn, Wallâhu’alam.[]

Amir Hamzah
Ngaji di Ponpes UII

sumber :
http://alrasikh.uii.ac.id/2013/02/28/1308/
Share on :

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright Matakuliah_PAI 2009-2013.